Manipulasi Mata Uang Oleh AS Masih Hidup dan Sehat

Oleh: Tommy Behnke
31 Mei 2016
Sumber: Mises

Bulan lalu, para gubernur bank sentral dan pemimpin keuangan dari Grup 7 (G-7) negara maju bertemu di Sendai untuk mendiskusikan ekonomi global. Sesuai dugaan, AS memperingatkan Jepang, negara dalam daftar pantau mata uang AS, agar menahan diri dari mengambil langkah lanjutan untuk memanipulasi mata uangnya. Peringatan ini muncul gara-gara isyarat menteri keuangan Taro Aso bahwa negaranya “siap melakukan intervensi” di pasar valuta asing dalam rangka memperlemah yen.

Kemunafikan peringatan Menteri Keuangan AS Jack Lew menggelikan. Dia bisa juga berkata pada Jepang, “Kami Amerika, kami berkuasa, dan kami boleh membuat aturan yang boleh kami langgar,” karena itu memang implikasi dari kata-katanya.

Secara historis, AS adalah pemandu sorak utama dunia untuk manipulasi mata uang. Bukan hanya mendorong dan membantu Jepang dalam usahanya menjaga nilai yen tetap rendah, AS juga meniru kebijakan moneter ramah ekspornya di masa-masa panik.

Apa Itu Manipulasi Mata Uang?

Manipulasi mata uang pada hakikatnya adalah ketika sebuah negara secara dibuat-buat melemahkan nilai mata uangnya untuk menaikkan ekspor bersih. Ini dapat dilakukan dengan satu dari dua cara:

  1. Dengan membeli mata uang asing di pasar valuta asing untuk menaikkan daya beli mereka.
  2. Dengan menggunakan kebijakan moneter merpati/lunak (dovish monetary policy, kebalikan dari hawkish monetary policy/kebijakan moneter elang/keras—penj.) untuk meningkatkan inflasi, memangkas suku bunga, dan menurunkan daya beli domestik.

Anggap saja untuk membeli 1 dolar butuh 100 yen Jepang. Anggap juga pemerintahan Jepang tidak bahagia dengan total ekspor dan ingin menjual lebih banyak barang ke AS. Jepang memilih “memperbaiki” ini melalui Jalan A: mereka membeli miliaran dolar dengan mata uang yen, sehingga meningkatkan persediaan yen di pasar dan menurunkan persediaan dolar. Alhasil, nilai yen mengalami depresiasi, menggeser kurs AS-Jepang ke 110:1.

Terjemahan: Amerika kini dapat membeli barang-barang Jepang dengan sedikit dolar, sementara barang-barang AS menjadi semakin mahal bagi rata-rata warga Jepang.

Alternatifnya, Jepang bisa memilih Jalan B dan cukup mencetak yen lagi. Persediaan yen yang naik akan menggiring investor skeptis untuk menjual obligasi dan saham Jepang dan membeli obligasi dan saham luar negeri, sehingga menyusutkan daya beli yen.

Dalam kedua kasus, tujuan pokok tercapai—konsumen AS mulai membeli lebih banyak barang Jepang karena mereka mampu membayar lebih banyak barang dengan harga lebih rendah.

Efek Devaluasi

Apakah manipulasi mata uang sebuah kebijakan ekonomi yang sehat? Tidak sama sekali. Jepang pada hakikatnya sedang mensubsidi barang-barang murah ke AS. Memang betul para pemilik kaya industri ekspor Jepang bisa mendapat untung dari kenaikan penjualan, tapi pemangkasan daya beli pasti mempengaruhi seseorang. Dalam hal ini, itu merugikan para pekerja Jepang, yang, dengan tak adanya kenaikan upah, menderita penurunan pemasukan riil.

Sudah pasti, manipulasi mata uang juga mendistorsi struktur produksi, dan mencampuri pasar tenaga kerja bukanlah hal bagus. Intervensi nilai tukar telah membuat Jepang memperoleh lapangan kerja manufaktur dalam jumlah tak proporsional dan AS memperoleh lapangan kerja industri jasa dalam jumlah tak proporsional. Distorsi pasar ini menyusahkan kedua belah pihak, karena keunggulan komparatif dalam ekonomi global tentu akan lebih tinggi secara keseluruhan dengan tak adanya intervensi pemerintah.

Dari sudutpandang holistik, manipulasi mata uang tidak bagus untuk masing-masing pihak. Tapi, adalah munafik jika AS mencerca Jepang yang mempertimbangkan intervensi nilai tukar lebih lanjut, padahal AS sendiri adalah partisipan utama dalam perang mata uang global.

Jepang Membantu AS Mendevaluasi

Secara historis, AS—yang rentan terhadap impor murah—mendorong devaluasi yen dan bahkan membantu membiayai kejatuhannya. Sebagai contoh, dari September sampai Oktober 2003, Jepang menjual 2,7 triliun yen dalam rangka mendevaluasi mata uangnya. Kementerian Keuangan Jepang mengkonfirmasi bahwa sebagian besarnya dibeli oleh AS melalui Federal Reserve New York.

Namun, dalam beberapa kasus, AS mendapati mata uangnya sendiri terlalu kuat. Dalam kasus demikian, AS mengintervensi pasar valuta asing untuk mendevaluasi dolar, bahkan mendapat bantuan dari negara-negara seperti Jepang dalam melakukannya.

Ini terjadi pada 1997 sampai 1998, ketika daya beli dolar naik terhadap yen sebesar hampir 15%. Dalam usaha memerangi apresiasi pesatnya, Fed New York membeli yen senilai lebih dari $800 juta. Sebagaimana bisa Anda simak dalam grafik di bawah, dari Desember 1997 sampai Juni 1998, Jepang bukan secara artifisial menurunkan mata uangnya. Negara ini justru sedang memperkuat nilai yen dengan menjual puluhan miliar dolar dalam rangka membantu AS mendevaluasi mata uangnya.

Intervensi Jepang: Pembelian Dolar AS terhadap Yen Jepang oleh Bank Jepang
Intervensi Jepang: Pembelian Dolar AS terhadap Yen Jepang oleh Bank Jepang

Jadi jika pemerintah AS ingin terus menebar retorika anti manipulasi mata uang, sebaiknya mereka menjelaskan kenapa mereka sendiri mencampuri pasar valuta asing.

Devaluasi Pelonggaran Kuantitatif AS yang Besar-besaran

Tapi AS bukan saja memanipulasi mata uangnya lewat Jalan A. Ia jauh lebih sering melakukan itu lewat penambahan persediaan uangnya. Contoh paling mudah diingat dalam ingatan anyar terjadi pada waktu krisis keuangan panas 2008. Dengan jutaan lapangan kerja Amerika hilang, Direktur Fed Ben Bernanke dan Menteri Keuangan Hank Paulson nekat menggenjot PDB AS dengan cara apapun yang memungkinkan. Mereka melakukan itu dengan memanipulasi mata uang lewat kebijakan moneter merpati, memangkas suku bunga dana federal dan kemudian segera memulai program pelonggaran kuantitatif (QE) yang terkenal buruk.

Dari November 2008 (awal QE1) sampai Juni 2011 (akhir QE2), persediaan uang M2 naik sebesar lebih dari 1 triliun. Tak heran, ekspansi persediaan uang ini berkontribusi pada kejatuhan kurs spot dolar-yen dari 96,89 ke 80,49 selama jangka waktu itu:

Dan apa yang terjadi bersama jatuhnya kurs spot AS-Jepang? Tentu saja, ekspor barang AS ke Jepang meroket:

Meski kurs spot mulai naik sesaat setelah QE2 sebagai hasil dari pelonggaran moneter ekstensif Jepang, poinnya tetap jelas: AS menggunakan kekuatan mesin cetak untuk memanipulasi penurunan mata uangnya dalam upaya menaikkan ekspor bersih secara rekayasa.

Reli Yen

Syukurlah, negara-negara tidak bisa memanipulasi mata uang mereka selamanya. Pada suatu waktu joget harus berhenti, dan ekonomi Jepang adalah kasus relevan untuk fakta ini. Ekonomi Jepang sedang tidak baik belakangan ini. Negara tersebut, yang bergantung pada ekspor, rupanya tidak bisa memperlemah yen terhadap dolar. Bahkan, baru-baru ini yen mencapai posisi terkuatnya terhadap dolar sejak Oktober 2014.

Jepang kehabisan opsi. Suku bunganya bertengger pada -0,1%, jadi ia akan terdesak untuk melemahkan diri melalui ekspansi persediaan uang lebih jauh. Satu-satunya jalan lain adalah mengintervensi pasar valuta asing untuk pertama kali sejak 2014, dan inilah alasan kenapa menteri keuangan Taro Aso baru-baru ini menyindir bahwa negaranya mungkin akan segera berbuat demikian.

Kendati manipulasi mata uang lanjutan jauh dari ideal, AS tidak dalam posisi untuk mengkritik Jepang atas tindakan tersebut. Dengan dolar sebagai mata uang cadangan dunia, AS tidak seharusnya memerintah seperti perundung di taman bermain, dan tidak pula memimpin dengan mantera “lakukan seperti yang kukatakan, bukan seperti yang kulakukan”. Ia seharusnya memimpin dengan teladan atau duduk dan tutup mulut. Tapi semakin cepat ia memilih langkah kesatu, semakin cepat praktek manipulasi mata uang akan berhenti total; dan semakin cepat kesehatan fiskal akan kembali kepada perekonomian global.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.