Dubai – Tanah Para Ekspatriat dan Kapitalisme Ekstrim

Oleh: James Maverick
21 September 2012
Sumber: Maverick Traveler

Sekejap bayangkan Anda adalah penguasa de facto sebuah negara relatif kaya. Kekayaannya bergantung pada sumberdaya yang perlahan-lahan menipis, dan akan terpakai habis dalam waktu dekat. Apa yang akan Anda perbuat? Opsi A tidak berbuat apa-apa dan nikmati saja kekayaan mumpung masih ada. Opsi B gunakan kekayaan yang ada agar berdiversifikasi menjadi aset-aset penghasil kekayaan lain yang lebih stabil dan lebih tahan lama. Kebanyakan negara yang diberkahi minyak umumnya masuk dalam golongan pertama: Angola, São Tome, Nigeria, dan Arab Saudi. Dubai, di sisi lain, telah berhasil membangun ekonomi subur yang kian hari kian kurang bergantung pada minyak.

Jadi, bagaimana Anda melakukannya? Well, jika negara Anda diberkahi minyak dan tidak banyak yang lain (walaupun ada pasir), Anda harus menciptakan segala sesuatu sendiri.

Saya menghabiskan sepekan di Dubai (salah satu dari tujuh Emirat atau Negara Bagian di Uni Emirat Arab) dengan menginap di rumah seorang teman (yang secara kebetulan saya kenal lewat blog ini). Seminggu kemudian saya masih memproses segala sesuatu yang saya saksikan di negeri mal-mal perbelanjaan besar, gedung-gedung besar, dan mimpi-mimpi besar.

Tidak butuh waktu lama untuk melihat kemegahan Dubai. Itu dimulai begitu Anda mendarat di Bandara Internasional Dubai. Bangunan ini sendiri, bangunan terbesar kedua di dunia, betul-betul tak berujung: minimal perlu dua puluh menit dari gerbang untuk sampai ke beacukai dan keluar dari bandara. Selanjutnya ada perjalanan taksi ke hotel atau apartemen, di mana Anda menyaksikan banyak sekali gedung pencakar langit (sudah rampung maupun belum) sejauh mata memandang. Dubai telah disamakan dengan Las Vegas atau Miami, tapi Las Vegas ataupun Miami tidak punya hotel mewah bintang 7 berbentuk badan layar di tanah daratan dan dihubungkan oleh jembatan pribadi, dan tidak pula memiliki gedung tertinggi di dunia.

Keterpesonaan saya oleh Dubai terletak dalam upaya memahami bagaimana sebuah negara yang tak punya apa-apa selain minyak, pasir, dan panas tak tertahankan hampir sepanjang tahun telah secara ajaib bertransformasi sebagai salah satu destinasi wisata dan bisnis paling penting.

Berjalan-jalan keliling Dubai, Anda hampir tidak melihat penduduk lokal Emirat (negara-kota) ini. Warga Emirat adalah warga de facto negara ini, biarpun mereka hanya menyusun kurang dari sepuluh persen populasi. Yang lain adalah para ekspatriat, dimasukkan berbondong-bondong untuk membangun negara ini. Di antara mereka mayoritas adalah orang India, Filipina, Pakistan, Bangladesh, dan China. Mereka terlibat dalam semua aspek ekonomi, dari konstruksi (orang India), sopir taksi (orang Pakistan), hingga jasa (pelayan restoran dll—orang Filipina).

Kelompok ekspatriat utama lain adalah orang-orang Amerika Utara dan Eropa yang kebanyakan melakukan pekerjaan kantoran kerah putih dalam industri minyak dan keuangan.

Ini adalah satu-satunya negara (dari 50 lebih negara yang pernah saya datangi) di mana bukan hal aneh untuk disambut oleh pramuria Filipina, dilayani oleh pelayan India, diisikan air oleh petugas air Pakistan, dan disiapkan makan oleh koki China—semua di restoran Italia prestisius bintang lima.

Metronya adalah metro terpanjang di dunia dengan panjang 75 km, dan luar biasa bersih tanpa noda—logamnya betul-betul bersinar seperti cermin. Tidak ada grafiti dan pengrusakan publik apapun di manapun.

Terlalu panas untuk jalan kaki ke stasiun metro? Naik saja taksi yang berkeliaran di jalan raya. Jangan khawatir, mereka semua diukur dengan penghitung perjalanan standar. Jangan repot tawar-menawar dan Anda takkan pernah ditipu oleh sopir curang.

Kendati para ekspatriat tak pernah membayar pajak di Dubai, mereka juga tak pernah menjadi warga negara; pembaruan izin tinggal sementara secara terus-menerus sudah menjadi norma. Mungkin itu sebabnya negara ini aman, bahkan pada larut malam—coba saja berbuat kejahatan, maka Anda beresiko langsung dideportasi dan dikenai pencekalan.

Itu sistem hebat di mana orang dapat meraih banyak uang sambil menikmati manfaat masyarakat stabil.

Akan tetapi, keadaan tidak serba bagus di surga ini.

Pertama, terdapat kondisi meragukan yang dipikul oleh para buruh pembangun gedung-gedung pencakar langit, jalan, dan infrastruktur Dubai lainnya. Dari para sopir taksi yang berbincang-bincang dengan saya, mereka tampak menikmati berada di sini dan bekerja. Upahnya lebih tinggi dari yang mereka terima di negara asal, kalau tidak, mereka tidak akan datang kemari.

Kedua, Dubai sudah tentu bukan untuk setiap orang. Itu bisa jadi tempat keras dan sepi bagi rata-rata pria lajang di mana semua wanita ekspatriat (wanita lokal terlarang) sudah bersuami atau sedang disekop oleh hartawan asing dan juga lokal.

Rasio pria banding gadis adalah sekitar 5:1 atau 7:1 di kebanyakan tempat yang saya datangi. Suatu malam, saya melihat dua gadis Inggris berpakaian elegan dengan sandal jepit dan celana pantai terus-terusan digoda oleh segala jenis pria dalam rentang satu jam. Salah seorang gadis sangat tidak menarik dari kejauhan, dan begitu dilihat dalam cahaya lebih terang, dia betul-betul menjijikkan dengan muka gemuk tak menarik (terdiri dari 2 atau 3 dagu) dan tubuh kurang dari mengesankan. Walau demikian, dia sedang menikmati hidupnya malam itu—dan boleh jadi setiap malam.

Gadis-gadis lajang selebihnya dimanjakan oleh manfaat berada dan bekerja di Dubai—lupakan bahwa mereka semua pelayan rendahan atau penjaga toko. Gadis tipikal Rusia/Ukraina dari sebuah kota kecil tanpa nama di Rusia atau Ukraina memiliki nuansa superioritas tertentu, menjadikannya tak terjangkau oleh semua pria, kecuali yang berstatus tinggi.

Ini adalah negara status dan kapitalisme ekstrim di mana mempunyai pekerjaan ekspatriat normal tidaklah cukup. Orang bisa bersenang-senang dengan banyak uang, tapi saya kira itu berlaku untuk setiap tempat di dunia.

Secara keseluruhan saya suka Dubai, tapi hanya dari sudutpandang studi kasus sukses tentang bagaimana membangun destinasi kelas dunia dari nol. Tapi saya tidak akan kembali ke sana dalam waktu dekat.

Tentang penulis

James Maverick dulu bekerja di sebuah ruangan kecil sebagai programer di Silicon Valley. Kemudian, pada 2007, dia berhenti dari pekerjaan dan membeli tiket satu arah ke Brasil. Sejak saat itu, dia terus melancong, mengunjungi lebih dari 85 negara dan tinggal di lebih dari selusin negara. Dia mencintai gaya hidupnya yang bebas lokasi dan tak berencana tinggal di Amerika.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.